JATIM ZONE – Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani kuno Demos (rakyat) dan Cratos (kekuasaan), mengindikasikan kekuasaan di tangan rakyat. Gagasan ini diperkenalkan oleh Cleisthenes dari Athena, Yunani, pada tahun 507-508 SM.
Republik Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, meski penerapannya mengalami pasang surut, mencerminkan kebijakan yang berbeda dari setiap presiden.
Seorang budayawan Sumenep, Tadjul Arifien R memberikan kesaksiannya mengenai perubahan zaman di Indonesia, dari era ke era yang telah ia alami semasa hidupnya.
Berikut petikan naskah kesaksian Budayawan Sumenep, Tadjul Arifien R
Kita patut bersyukur bisa hidup pada jaman sekarang, yang semuanya serba ada dan serba bebas. Bicara apa saja tak ada batasan, leluasa memberikan kritik, bahkan mau menghujat dan memfitnah siapapun termasuk kepada Presiden pun bebas.
Saya yang pernah hidup di era Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi dan Orde Demokrasi Liberal saat ini, sangat merasakan perbedaan yg sangat mencolok.
Tetapi, keluhan yang paling saya rasakan adalah pada era Demokrasi Liberal saat sekarang.
~ Orde Lama,
Pada masa orde lama, kita bisa makan nasi umbi, ketela apa lagi jagung sudah merasa di surga. Kepala Desa bagaikan seorang Raja, apa lagi Asisten Wedana (Camat), Dansek (Kapolek), Danramil dan lain sebagainya. Hukuman bisa terjadi tanpa pengadilan.
~ Orde Baru
Merasakan makan nasi bulgur, sorgum (nase’ bulir) masih sama seperti di Surga, tetapi klaau bicara mengkritik pemerintah, besok hari bisa ada di sel Kodim, bahkan jadi mayat kena Petrus (1980-1984), PNS/ASN harus punya Sampul D dari Pasitel Kodim (Bakortanasda) dan lain sebagainya . Hukuman (mati) bisa terjadi tanpa pengadilan.
Lebih-lebih jaman penjajahan Kolonial, saya tak bisa bicara, yang era feodal tersebut bisa dibaca pada buku *Sumenep abad ke-19* karya Prof Dr Huub de Jonge (2020).
~ Sementara hari ini, kita bagai berada di Surga, mau apa saja bebas dan hukum hanya berlaku pada orang yg apes/nahas/falang, karena bisa dibeli dengan kekuasaan/kharisma/uang.
Sekarang kita hidup bebas, tapi masih mengeluh. Subhanallah wal hamdulillah.
Fase kepemimpinan
Menurut Tadjul Arifien R, demokrasi di Indonesia juga mengalami berbagai fase di bawah kepemimpinan presiden yang berbeda.
– Era Presiden Soekarno: Demokrasi Terpimpin.
– Era Presiden Suharto: Demokrasi Pancasila.
– Era Presiden Habibie, Gus Dur, dan Megawati: Demokrasi normal seperti pada umumnya.
– Era Presiden SBY: Demokrasi semu (saya prihatin).
– Era Presiden Jokowi: Demokrasi liberal.
Dalam pelaksanaan demokrasi yang lepas dari pada umumnya tersebut, selalu ada korban:
– Era Soekarno: Syahrir, Natsir, Hamka dan lainnya menjadi korban karena perbedaan ideologi.
– Era Soeharto: Kebebasan bersuara tertutup total, banyak orang hilang atau dihukum tanpa pengadilan formal, seperti korban pembantaian yg diduga anggota PKI yg konon mencapai lebih 2 juta jiwa, serta korban Petrus dan lain-lain.
– Era SBY: Beberapa individu seperti Moh. Rijik Shihab, Monang, dan Jonday menjadi korban.
– Era Jokowi: bahkan korbannya adalah Pejabat Negara seperti LBP, Presiden Jokowi dan keluarganya serta para pejabat lainnya yang menjadi korban hujatan dan fitnahan serta mengalami penghancuran moral meskipun tidak secara fisik, (jadi terbalik).
“Di era demokrasi liberal saat ini, profesi pengamat laku keras, dari politisi hingga gelandangan, semua bisa menjadi pengamat dengan cuap-cuap di TV swasta atau media sosial. Dampak dari demokrasi liberal ini sudah berada di titik nadir, jauh dari adat ketimuran, dan tatakrama telah sirna,” pungkas kesaksian budayawan Sumenep, Tadjul Arifien R.
Sumber:
– Komunikasi Politik, Media & Demolendo, Henri Subiakto dkk, 2012
– Media & Dinamika Demokrasi, Anang Sutomo dkk, 2020
– Penataan Demokrasi & Pemilu, Pasca Reformasi, Prof Dr Nikmatul Huda, 2017
– Kliping media Kompas, Tempo, dll.