JATIM ZONE – Angin malam di Sumenep berhembus lembut, membawa gemerisik riuh dan gemerlap lampu dari pusat kota. Di atas panggung, para penari bergerak laksana bayangan yang hidup. Ini bukan sekadar pertunjukan, ini adalah Madura Ethnic Carnival (MEC) 2025, sebuah napas panjang budaya yang menolak untuk punah.
Di balik riuhnya sorak penonton dan indahnya kostum yang berputar, ada sebuah kekuatan yang bekerja dengan tenang: dukungan penuh dari Dewan Pengurus Cabang Indonesia Sport and Special Interest Tourism Association (ISSITA) Kabupaten Sumenep.
Dr. Naghfir, Ketua DPC ISSITA Sumenep, menyaksikan perhelatan itu dengan mata yang tajam dan penuh perhitungan. Baginya, setiap gerakan penari, setiap detail topeng dan kostum yang dikenakan, adalah sebuah ayat dari puisi panjang tentang identitas dan budaya.
“Pergelaran MEC ini merupakan suatu hal yang sangat luar biasa,” ujarnya, suaranya nyaris tenggelam oleh musik, namun maknanya terang benderang.
“Itu bukan hanya event. Itu adalah ruang kelas raksasa tanpa dinding yang memberikan edukasi kepada jiwa untuk selalu menjaga budaya kearifan lokal,” tambahnya, matanya tetap terpaku pada para penari yang mengenakan topeng ikon tahun ini. Topeng-topeng itu baginya bukan lagi kayu yang diukir, melainkan wajah-wajah leluhur yang bangkit, membuktikan bahwa MEC konsisten membumikan kembali budaya yang sempat tergerus roda zaman.
Namun, panggung ini hanyalah permukaan. Di balik layar, komitmen ISSITA digerakkan oleh sebuah misi yang lebih dalam dan nemastikan bahwa setiap keindahan yang lahir dari keringat dan genius lokal ini terlindungi. Mereka bukan hanya bertepuk tangan, tetapi juga membangun benteng hukum. Mereka mendorong perlindungan legalitas dan pengakuan HKI, menjahit jaring pengaman agar karya-karya para kreator ini tidak mudah dicabut dan diklaim oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Setiap motif, setiap lagu, setiap koreografi, adalah kepingan jiwa yang harus dijaga kepastiannya.
Lalu, aroma lainnya menyelinap di antara aroma malam dan debu panggung. Aroma gorengan yang baru saja keluar dari penggorengan, wangi sosis, bakso dan segala jenis makanan turut menyaksikan megah panggung perhelatan. Inilah napas ekonomi nyata dari MEC.
Naghfir menyadari betul denyut nadi ini. “Dengan adanya pergelaran ini,” jelasnya, sambil menunjuk ke arah kerumunan pelaku UMKM yang berjubel di sekitar lokasi, “semua level UMKM tersentuh.” Kata ‘tersentuh’ itu terdengar sederhana, tetapi ia adalah aliran darah yang menambah pendapatan, membayar sekolah anak, dan menghidupkan kembali semangat usaha lokal. MEC telah menjadi katalisator, mengubah energi budaya menjadi tenaga ekonomi kreatif.
Malam semakin larut, tetapi api harapan justru semakin terang. Naghfir membayangkan suatu masa di mana panggung MEC tidak hanya diisi oleh seniman lokal, tetapi juga oleh seniman karnaval dari berbagai penjuru dunia.
“Harapannya, MEC ke depan terus berinovasi, terus berkolaborasi dengan semua pihak,” pungkasnya.