JATIM ZONE – Pagi itu, Jam di ponsel saya menunjukkan pukul 09.00. Saya melajukan motor perlahan ke arah selatan Kampus Unija Sumenep. Tujuan saya jelas: Desa Patean, Kecamatan Batuan- daerah yang dikabarkan dilanda banjir karena curah hujan tinggi.
Sebagai jurnalis, saya merasa ada panggilan untuk tidak hanya mendengar kabar dari jauh, tapi melihat dengan mata kepala sendiri.
Memasuki wilayah desa, suasana berubah muram. Jalan-jalan tergenang air keruh setinggi betis. Suara gemercik hujan sisa semalam masih terdengar samar dari selokan-selokan yang meluap. Sawah di sisi kiri dan kanan jalan berubah menjadi kolam. Beberapa rumah terlihat sepi, sebagian lainnya tampak sibuk: warga mondar-mandir memindahkan barang ke tempat yang lebih tinggi.
Di tengah suasana itu, saya bertemu rombongan relawan dari Baznas Sumenep. Mereka sedang menyiapkan puluhan bungkus nasi untuk dibagikan kepada warga terdampak. Saya menawarkan bantuan. Tak hanya karena ingin membantu, tapi juga karena merasa liputan ini harus lebih dari sekadar pengamatan, harus menjadi pengalaman.
Dengan sepeda motor, kami menyusuri gang sempit yang sudah seperti sungai kecil. Air kian meninggi. Motor saya nyaris mogok, knalpot terendam, dan roda belakang sesekali terpeleset m. Di sela-sela perjalanan, saya sempat mengobrol dengan seorang warga yang berdiri di beranda rumahnya.
“Air datang cepat semalam,” katanya lirih. “Kami tak sempat mengangkat kasur. Anak-anak tidur di kursi, kami berjaga semalaman.”
Langit yang tadinya kelabu kini menurunkan lagi air matanya. Hujan kembali mengguyur. Kami terus berjalan. Di titik tertentu, motor saya sempat mogok karena air masuk ke mesin.
Langkah saya menyusuri jalan makin pelan. Genangan tak lagi dangkal. Tanpa rambu, tanpa petunjuk apa pun, saya tiba-tiba merasakan tanah menghilang di bawah kaki saya—brruuk! Tubuh saya terjerembab ke dalam selokan yang tertutup air. Ternyata itu bukan genangan biasa, tapi lubang dalam yang menanti korban. Saya tenggelam hingga sebatas leher.
Sekejap saya panik, tapi kemudian mencoba tenang dan merangkak keluar dengan susah payah. Nafas memburu. Tubuh basah kuyup. Namun entah bagaimana, nasi bungkus dan ponsel masih utuh di tangan saya.
Hari itu saya tak hanya membawa pulang catatan dan gambar. Saya membawa pengalaman yang sulit dilupakan tentang betapa tipis jarak antara pengamatan dan keterlibatan.
Liputan ini mengajarkan saya bahwa menjadi jurnalis bukan sekadar bertanya dan mencatat, tapi juga hadir dan merasakan.
Terkadang, untuk benar-benar memahami isi hati masyarakat, kita harus bersedia tercebur dalam realita mereka, meski itu berarti harus masuk lumpur, tenggelam sebentar, dan merasakan dingin yang menusuk.
Di Patean, saya belajar bahwa keberanian warga menghadapi bencana bukanlah sesuatu yang bisa sepenuhnya ditulis dengan kata-kata. Tapi dengan mendekat, kita bisa menyampaikannya dengan lebih jujur, bukan sebagai penonton, tapi sebagai saksi.
Oleh: Mahrus Ali, Anggota Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Sumenep.