JATIM ZONE – Akhir pekan ini, publik Indonesia dihebohkan dengan isu tambang nikel di Raja Ampat. Mengutip pemberitaan CNN Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan bahwa tambang yang beroperasi di wilayah tersebut adalah milik PT GAG Nikel, anak usaha Antam.
Menurutnya, Izin Usaha Produksi (IUP) perusahaan tersebut telah diterbitkan sejak tahun 2017, dan kegiatan operasional dimulai pada 2018.
Menteri Bahlil juga menegaskan bahwa perusahaan tersebut telah melalui proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum melakukan aktivitas pertambangan.
Namun, meskipun telah memenuhi syarat administratif dan kelengkapan dokumen lingkungan, kegiatan tambang ini tetap mendapat penolakan keras dari berbagai aktivis lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan, sekecil apapun, tetap akan mengundang kecaman, terlebih ketika manfaatnya tidak dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Dampak kerusakan lingkungan tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga sosial.
Beranjak dari Raja Ampat, kita beralih ke ujung timur Pulau Madura, tepatnya di Kabupaten Sumenep. Di sana tengah terjadi persoalan yang tak kalah serius, yakni maraknya aktivitas tambang Galian C ilegal. Tidak satu pun dari aktivitas tambang tersebut mengantongi izin resmi.
Hal ini diungkapkan oleh anggota DPRD Sumenep, Abd. Rahman, dalam sebuah wawancara media. Ia menyatakan, “Berdasarkan data dari Dinas ESDM Jawa Timur, tidak ada satu pun tambang Galian C di Sumenep yang memiliki izin”.
Berbagai elemen masyarakat telah menyuarakan keresahan atas dampak buruk dari tambang-tambang ilegal ini. Protes, pelaporan ke pihak kepolisian, hingga pengaduan publik telah dilakukan.
Namun sampai hari ini, belum ada tindakan hukum yang jelas terhadap pelaku-pelaku tambang ilegal tersebut. Padahal, dampaknya sangat nyata: rumah-rumah warga yang nyaris roboh, banjir, dan longsor sudah terjadi di beberapa lokasi.
Ironisnya, jika tambang di Raja Ampat yang berizin saja mendapat kecaman luas, mengapa tambang ilegal di Sumenep seperti dibiarkan? Di mana penegakan hukumnya? Apakah ini karena laporan kerusakan tidak diajukan oleh tokoh besar atau mantan presiden?
Kami hanya ingin bertanya pada para pihak yang memiliki wewenang: apakah kerusakan lingkungan di Sumenep belum cukup parah untuk mendapatkan perhatian serius? Jika dibiarkan, para pelaku tambang akan pergi kembali ke kampung halaman mereka setelah merusak tanah Sumenep. Namun masyarakat lokal akan tetap tinggal dan menanggung akibatnya.
Kami melihat banyak kasus diungkap di Sumenep, mulai dari korupsi, pemalsuan ijazah, hingga narkoba. Tapi mengapa kasus lingkungan seperti tidak pernah disentuh serius oleh penegak hukum di daerah ini? Ada apa sebenarnya?
Oleh : Aktivis Sumenep, Mohammad Nor.